Sejak kelahiran kamera digital dan software pengolah foto, dunia fotografi mengalami revolusi besar-besaran. Manipulasi foto semakin menjadi hal biasa. Dan, seperti yang kerap terjadi ketika teknologi baru muncul. Di tangan yang salah, keaslian hasil rekaman foto bisa dengan mudah menjadi gambar palsu. Sementara di tangan seorang seniman justru menjadi karya yang tidak lazim, bahkan terkesan sureal.
Di abad 21, eksplorasi seniman terhadap kehadiran kanvas model baru - foto digital - banyak yang mengagumkan. Olah seni yang disebut digital imaging ini seringkali jadi tuntutan dunia periklanan. Salah satu pelopornya adalah Thomas Herbrich, pria kelahiran 1955 ini jadi bukti hidup seorang fotografer yang tidak menutup mata ketika roda jaman bergerak, ketika digitalisasi harus diamini dan diterima kehadirannya.
Kali ini kita tidak akan membahas sang Godfather, tetapi dari generasi yang 30 tahun lebih muda, Erik Johansson (1985 di Gotene, Swedia). Karya-karyanya sontak mengagumkan banyak orang. Keahliannya bahkan digunakan oleh perusahaan-perusahaan raksasa semacam Google, Microsoft, dan Adobe. Ia juga beberapa kali jadi pembicara seperti TED Confrence dan Adobe MAX Confrence.
Erik tumbuh dengan darah seni yang kental diwariskan dari neneknya yang jadi pelukis. Walau bisa dan berbakat menggambar, masa kecilnya justru habis di depan komputer bermain game. Kamera digital pertama kali diperolehnya saat berumur 15 tahun. Saat itulah kegemarannya pada dunia seni kembali menguat. Ditunjang oleh kuliahnya di jurusan computer engineering, ia justru lebih banyak menghabiskan waktu belajar secara otodidak memanipulasi foto.
Inilah beberapa karya Erik yang banyak menuai pujian.