Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merk sepatu yang bermutu tinggi dan tentu tidak murah. siapa sangka pernah membuat Bung Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia, menaruh hati padanya. Bung Hatta pernah mendambakan memiliki sepatu tersebut.
Ia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun uang tabungan tampaknya tak pernah mencukupi karena uang tabungannya selalu terambil untuk urusan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang meminta pertolongan kepadanya.
Hingga akhir hayatnya , sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta.
Keinginan untuk membeli sepatu Bally ini, baru diketahui anaknya setelah jauh hari Bung Hatta wafat. Anak Bung Hatta menemukan kliping iklan koran sepatu Bally di buku harian ayahnya. Padahal, untuk memiliki sepatu dengan harga yang cukup mahal ketika itu, Bung Hatta bisa saja meminta ke duta besar atau pengusaha yang berasal dari negara tempat perusahaan sepatu Bally berdiri. Bagaimana pun, posisi Bung Hatta ketika itu sangat dihargai oleh banyak orang di dunia. Namun, hal ini tidak pernah dilakukan oleh Bung Hatta, padahal dia mampu untuk melakukannya. Dia tidak pernah mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang atau negara lain.
Pemilik nama lengkap Muhammad Athar ini, memang terkenal akan kesederhanaan dan pengabdiannya terhadap negara dan bangsanya. Bahkan, Bung Hatta pernah berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Janji ini benar-benar dia tepati, dan baru menikah pada 18 Nopember 1945. Bung Hatta telah menginjak umur 43 tahun ketika menikahi Rahmi Rachim.
Kesederhanaan dan pengabdiannya terhadap negara tercermin juga pada kisah tentang mesin jahit. Suatu ketika, nyonya Rahmi, istri Bung Hatta, tengah menabung untuk membeli mesin jahit baru. Ketika uang tabungannya hampir menggapai jumlah yang dibutuhkan, pemerintah Indonesia kala itu, memberlakukan kebijakan sanering, yaitu pemotongan nilai mata uang dari 100 Rupiah menjadi 1 Rupiah. Hal ini membuat Nyonya Rahmi kecewa lantaran nilai uang tabungannya menurun dan semakin tidak cukup untuk membeli mesin jahit baru.
Ketika pulang ke rumah, Bung Hatta ditanyai istrinya, mengapa suaminya tidak pernah menceritakan perihal kebijakannya tersebut. Dengan kalem, Bung Hatta menjawab bahwa rahasia negara tidak boleh diberitahukan kepada siapa pun, termasuk kepada keluarganya sendiri. "Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, yah," hibur Bung Hatta kepada istrinya.
Bung Hatta adalah sosok yang jujur, tidak terkorupsi, sederhana, dan mandiri. Sikap ini tidak hanya tercermin ketika masih menjabat sebagai wakil presiden Republik Indonesia, tetapi juga ketika telah mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember 1956.
Ketika itu, keuangan Bung Hatta dan keluarga sangat kritis. Beliau kerap kali tercengang melihat tagihan listrik, gas, air, dan telepon yang mencekik leher. Wajar saja, karena uang pensiun yang diterimanya juga sangat kecil, bahkan setara dengan gaji supirnya yang ketika itu digaji oleh negara. Menghadapi keadaan ini, Bung Hatta tidak pernah mau berpangku tangan kepada siapa pun. Dia memilih untuk menulis guna menambah penghasilan dirinya dan keluarga.
Tak salah bila Iwan Fals dalam lagunya berjudul Bung Hatta menggambarkan bahwa Indonesia sangat berkabung ketika proklamator Indonesia itu meninggal dunia. Lebih dari itu, Indonesia merindukan orang yang sederhana, bersahaja, dan mengabdi untuk negara, seperti Bung Hatta.
Kehidupan Bung Hatta memang sangat kontras bila dibandingkan dengan pejabat negara saat ini. Wisnu Nugroho, dalam bukunya berjudul Pak Beye dan Istananya, menulis bahwa Istana Negara kerap kali disinggahi banyak mobil mewah milik pejabat negara dan keluarganya.
Mobil yang kerap terlihat adalah milik Edhie Baskoro, putra sulung presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain bermerk Audi dan Chevrolet, Edhie juga memiliki mobil lainnya bermerk Mercedes-Benz dan BMW. Jajaran mobil bermerk mewah untuk saat ini.
Saat rapat kabinet pun, halaman Istana Negara berjejer mobil Toyota Camry hitam yang merupakan mobil dinas menteri ketika itu. Dari sekian banyak mobil dinas menteri, salah satunya bermerk Lexus yang merupakan kepunyaan Aburizal Bakrie, Menko Kesra kala itu.